Read Time:2 Minute, 1 Second
Limbah dari kerajinan daun nipah di kampung Anyaman 3/4 Ulu. Sabtu, (20/09/2025). Ukhuwahfoto/Ranidwioktafidiya.

Penulis: Marshanda (Pemimpin Umum LPM Ukhuwah)

Hidup di Antara Sampah dan Sesuap Nasi

Di sebuah kampung pesisir, tepatnya di Kelurahan 3 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Kota Palembang, percakapan sehari-hari warga hampir selalu berputar pada dua hal: sampah dan sesuap nasi. Dua kata sederhana, tapi merefleksikan persoalan besar tentang keterbatasan fasilitas, inisiatif warga, dan absennya solusi nyata dari pemerintah.

Sampah yang Menjadi “Gunung”

“Hampir seluruhnya warga di sini buang sampah ke pinggir laut,” ujar Evi, Ketua RT 50.
Lokasi itu seperti tempat pembuangan resmi, meski tanpa plang penanda. Plastik, sisa makanan, dan limbah rumah tangga menumpuk. Sebagian dibakar, sebagian lain dibiarkan menunggu hancur bersama tanah.

Namun kenyataannya, sampah itu jarang benar-benar hilang. “Kalau kering, panas, dibakar. Kalau basah, dibiarkan dulu,” jelas Evi saat ditemui di kediamannya, Sabtu (20/9/2025).

Pembakaran menjadi jalan pintas paling umum, meski warga sadar asapnya membuat udara sesak.

Evi pun menyelipkan kritik:
“Kalau pemerintah pasang denda, larangan, itu bukan solusi. Masyarakat harus diajak ngomong, diajak cari jalan keluar. Kalau cuma dilarang, ke mana kami harus buang sampah?,” tegasnya.

Upaya Kecil dari Warga

Meski resah, warga tak tinggal diam. Ada yang membuat kotak sampah dari semen secara swadaya, ada pula yang memanfaatkan sampah organik untuk pupuk. Namun, upaya itu sering terhenti di tengah jalan karena keterbatasan biaya dan tenaga.

Ekonomi dari Daun Nipah

Di sisi lain, denyut ekonomi kecil tetap berusaha bertahan. Warga memanfaatkan daun nipah kering untuk dianyam menjadi sapu. Bahan baku diambil dari jalur, lalu dijual Rp5.000 per ikat. Setelah dirangkai menjadi kerajinan sederhana, sapu itu dijual sekitar Rp7.000.

“Agen kadang ambil murah, cuma Rp3.000–Rp5.000. Kalau jual sendiri bisa lebih. Tapi kadang kita butuh cepat, jadi dijual ke agen saja,” ungkap Indrawati, salah satu pengrajin anyaman.

Meski hasilnya tak seberapa, kerajinan tangan ini menjadi penopang hidup, untuk biaya sekolah anak, belanja dapur, hingga sedikit tabungan.

Suara yang Tersisa

Dari obrolan panjang warga, terlihat jelas keresahan yang sama. Sampah semakin menumpuk, solusi pemerintah minim, sementara ekonomi warga bertahan dengan cara-cara tradisional.

Di balik gunungan sampah, lahirlah sapu-sapu buatan tangan yang dijual murah. Ironis alat pembersih itu justru lahir dari lingkungan yang kotor.

“Kalau pemerintah cuma bikin aturan tanpa dengar suara warga, masalah nggak selesai. Harus ada solusi bareng,” tegas Indrawati.

Editor: Vivin Noor Azizah

About Post Author

Vivin Noor Azizah

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post FDK UIN RF Gelar Peringatan Maulid Nabi 1447 H
Next post Kampung Nipah Palembang: Sentra Pengrajin kulit Rokok Daun Nipah dengan Tradisi yang Terjaga