Read Time:2 Minute, 48 Second
Ketua Paguyuban Kampung Tempe, Topik saat meriksa kematangan kedelai yang di rebus dalam wajan besar, Senin (3/6/2025). Ukhuwahfoto/Marshanda.

Penulis: Marshanda (Pemimpin Umum Lpm Ukhuwah)

Di sebuah lorong kecil bernama Lorong Asia, yang berada di Kecamatan. Plaju Ulu, Kota Palembang, aroma tempe hangat menyeruak pagi-pagi sekali. Bukan sekadar aroma, ini adalah napas hidup warga kampung yang sejak 1952 telah menyatu dengan kedelai. Di sinilah Muhammad Topik, 57 tahun, menyambut saya dengan senyum dan lengan penuh kerja keras. Ia bukan hanya seorang pengrajin, tapi Ketua Paguyuban Pengrajin Tempe Plaju Ulu sebuah komunitas yang menautkan sejarah, keterampilan, dan cita rasa.

“Awalnya cuma dari orang tua. Saya mulai tahun 1996. Tapi sejarahnya, ini kampung tempe paling tua di Palembang,” ucapnya saat ditemui dikediamannya. Senin, (3/6/2025).

Kampung Tempe di Lorong Asia bukanlah sekadar sentra produksi. Ia adalah monumen hidup yang bertahan di tengah arus modernisasi. Di sini, pembuatan tempe masih memadukan cara manual dengan bantuan mesin. Dari rebusan kedelai, rendaman semalam, penggilingan, hingga pencampuran ragi dan fermentasi, prosesnya memakan waktu empat hari empat malam.

Baca Juga: Sudah Berdiri 300 Tahun Silam, Rumah Baba Ong Boen Tjit Tetap Jaga Keasliannya

Topik menjelaskan, meski kini mesin giling telah menggantikan sebagian kerja kaki, tak semua bisa digantikan teknologi. “Cuci pakai mesin memang cepat, tapi kalau mau bersih betul, tetap harus pakai kaki juga,” ujarnya sambil tertawa kecil, mengingat masa ketika kakinya turut meramu kualitas.

Namun, mesin tetap punya tempat. Sejak 1985, pengrajin mulai merakit sendiri alat penggiling dengan bantuan dinamo atau bahkan rantai sepeda. Kini, sebagian alat itu telah berganti dengan pelat besi dan sistem modern. Tapi bukan tanpa harga. “Kalau semua pakai mesin, siapa yang kerja? Kampung ini bisa hidup karena orang masih diajak kerja manual,” katanya.

Soal bahan baku, tantangan terbesar datang dari harga kedelai. mereka impor langsung dari Amerika untuk menjamin kualitas lebih bagus. Walaupun harga mencekik keuntungan yang diperoleh. Di mana saat ini kedelai menyentuh harga di atas Rp10.000 per kilo.

Pada masa pandemi COVID-19 melanda, usaha warga hampir lumpuh. Harga kedelai sempat menyentuh Rp14.500. Beberapa pengrajin gulung tikar. Sebagian bertahan dengan mengecilkan ukuran tempe, tapi menjaga kualitas tetap nomor satu.

“Yang penting pas dipotong, tempenya tidak hancur. Kacang harus tetap keliatan utuh atau belah dua,” jelasnya.

Inovasi di Kampung Tempe tak hanya berhenti pada produksi. Dalam hal lingkungan, warga Lorong Asia juga mulai berbenah. Berkat dukungan dari Pertamina, kini limbah cair hasil produksi tempe diolah melalui sistem IPAL komunal. Limbah difermentasi menggunakan ekoenzim zat ramah lingkungan yang mampu menetralisir bau dan mempercepat penguraian.

Fotret IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) tempe yang ada di Lr. Asia, Kec. Plaju Ulu. Kota Palembang Sumatera Selatan, Senin (3/6/2025). Ukhuwahfoto/Marshanda.

“Sekarang air limbahnya sudah jernih saat keluar,” kata Topik, seraya menunjukkan empat tabung besar yang menjadi inti sistem pengolahan limbah di kampung tersebut.

Warga kampung, rata-rata masih mengandalkan tempe sebagai sumber penghidupan utama. “Kalau mereka mau kerja lain, belum tentu bisa. Jadi mereka tetap produksi tempe, walau kecil-kecilan. Yang penting bisa makan,” ucapnya.

Dalam lorong kecil itu, hidup dijalani dengan tempe. Dari kaki yang menginjak kacang, tangan yang menakar, hingga doa yang mengiringi pengemasan. Kampung Tempe Plaju Ulu bukan hanya sentra produksi, tapi rumah warisan. Dan Topik, dengan segenggam harap dan pengalaman, adalah penjaganya.

Editor: Vivin Noor Azizah

About Post Author

Vivin Noor Azizah

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Sosialisasi Penggunaan AI dalam Pembelajaran di SD Negeri 01 Desa Sumur
Next post Kuliah Daring Tiap Jumat, Dosen dan Mahasiswa Keluhkan Efektivitas WFH