
Penulis: Marshanda (Pemimpin Umum Lpm Ukhuwah)
Di sebuah lorong kecil bernama Lorong Asia, yang berada di Kecamatan. Plaju Ulu, Kota Palembang, aroma tempe hangat menyeruak pagi-pagi sekali. Bukan sekadar aroma, ini adalah napas hidup warga kampung yang sejak 1952 telah menyatu dengan kedelai. Di sinilah Muhammad Topik, 57 tahun, menyambut saya dengan senyum dan lengan penuh kerja keras. Ia bukan hanya seorang pengrajin, tapi Ketua Paguyuban Pengrajin Tempe Plaju Ulu sebuah komunitas yang menautkan sejarah, keterampilan, dan cita rasa.
“Awalnya cuma dari orang tua. Saya mulai tahun 1996. Tapi sejarahnya, ini kampung tempe paling tua di Palembang,” ucapnya saat ditemui dikediamannya. Senin, (3/6/2025).
Kampung Tempe di Lorong Asia bukanlah sekadar sentra produksi. Ia adalah monumen hidup yang bertahan di tengah arus modernisasi. Di sini, pembuatan tempe masih memadukan cara manual dengan bantuan mesin. Dari rebusan kedelai, rendaman semalam, penggilingan, hingga pencampuran ragi dan fermentasi, prosesnya memakan waktu empat hari empat malam.
Baca Juga: Sudah Berdiri 300 Tahun Silam, Rumah Baba Ong Boen Tjit Tetap Jaga Keasliannya
Topik menjelaskan, meski kini mesin giling telah menggantikan sebagian kerja kaki, tak semua bisa digantikan teknologi. “Cuci pakai mesin memang cepat, tapi kalau mau bersih betul, tetap harus pakai kaki juga,” ujarnya sambil tertawa kecil, mengingat masa ketika kakinya turut meramu kualitas.
Namun, mesin tetap punya tempat. Sejak 1985, pengrajin mulai merakit sendiri alat penggiling dengan bantuan dinamo atau bahkan rantai sepeda. Kini, sebagian alat itu telah berganti dengan pelat besi dan sistem modern. Tapi bukan tanpa harga. “Kalau semua pakai mesin, siapa yang kerja? Kampung ini bisa hidup karena orang masih diajak kerja manual,” katanya.
Soal bahan baku, tantangan terbesar datang dari harga kedelai. mereka impor langsung dari Amerika untuk menjamin kualitas lebih bagus. Walaupun harga mencekik keuntungan yang diperoleh. Di mana saat ini kedelai menyentuh harga di atas Rp10.000 per kilo.
Pada masa pandemi COVID-19 melanda, usaha warga hampir lumpuh. Harga kedelai sempat menyentuh Rp14.500. Beberapa pengrajin gulung tikar. Sebagian bertahan dengan mengecilkan ukuran tempe, tapi menjaga kualitas tetap nomor satu.
“Yang penting pas dipotong, tempenya tidak hancur. Kacang harus tetap keliatan utuh atau belah dua,” jelasnya.
Inovasi di Kampung Tempe tak hanya berhenti pada produksi. Dalam hal lingkungan, warga Lorong Asia juga mulai berbenah. Berkat dukungan dari Pertamina, kini limbah cair hasil produksi tempe diolah melalui sistem IPAL komunal. Limbah difermentasi menggunakan ekoenzim zat ramah lingkungan yang mampu menetralisir bau dan mempercepat penguraian.

“Sekarang air limbahnya sudah jernih saat keluar,” kata Topik, seraya menunjukkan empat tabung besar yang menjadi inti sistem pengolahan limbah di kampung tersebut.
Warga kampung, rata-rata masih mengandalkan tempe sebagai sumber penghidupan utama. “Kalau mereka mau kerja lain, belum tentu bisa. Jadi mereka tetap produksi tempe, walau kecil-kecilan. Yang penting bisa makan,” ucapnya.
Dalam lorong kecil itu, hidup dijalani dengan tempe. Dari kaki yang menginjak kacang, tangan yang menakar, hingga doa yang mengiringi pengemasan. Kampung Tempe Plaju Ulu bukan hanya sentra produksi, tapi rumah warisan. Dan Topik, dengan segenggam harap dan pengalaman, adalah penjaganya.
Editor: Vivin Noor Azizah
About Post Author
Vivin Noor Azizah
More Stories
Lomba Mural Grafiti “Palembang Belaga” Hadirkan Ruang Ekspresi Bagi Para Seniman
[caption id="attachment_4521" align="alignnone" width="1600"] Sedang berlangsung Lomba Mural Graffiti Wali Kota Palembang, Kegiatan ini menjadi ruang kreativitas bagi para seniman...
Kampung Layangan Jadi Bukti Kreativitas Warga Meraih Juara Kedua
[caption id="attachment_4500" align="aligncenter" width="1280"] Sebuah layangan bergambar dicetak dengan kertas minyak di Kampung Layangan, Lorong Sepupu Kecamatan Seberang Ulu 1...
Ampera Jadi Saksi: Gema Suara di Panggung Rakyat
[caption id="attachment_4490" align="aligncenter" width="1600"] Indra seorang Ojek Online (Ojol) menyampaikan kritik tentang pemerintah dalam mimbar bebas pada acara Panggung Rakyat,...
Merajut Layangan Sebagai Mata Pencaharian Masyarakat Palembang
[caption id="attachment_4484" align="aligncenter" width="1600"] Beberapa warga sedang meraut bambu untuk dibuat menjadi layangan di Kampung Layangan, Lorong Sepupu Kecamatan Seberang...
Aksi Demonstrasi Bukan Hanya Kerusuhan, Wujud Suarakan Kemanusiaan
[caption id="attachment_4466" align="aligncenter" width="1500"] Pengunjuk rasa masuk ke halaman gedung DPRD Sumsel, Senin (01/09/2025). Ukhuwahfoto/Al Dona[/caption] Penulis: Selo Obrian (Pengurus...
Aksi Demontrasi berlangsung Kondusif di Gedung DPRD Sumsel
[caption id="attachment_4426" align="aligncenter" width="2048"] Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Sumatera Selatan (Sumsel), di depan Gedung DPRD Sumsel, Palembang, Senin (01/09/2025). Ukhuwahfoto/...
Average Rating