
Oleh: Ahmad Hafiizh Kudrawi
Pendidikan adalah kunci pembebasan bagi individu dan bangsa dari belenggu propaganda tertentu yang dirancang untuk kepentingan segelintir pihak. Tak dapat dipungkiri, kemerdekaan yang dinikmati Indonesia hingga kini tak lepas dari peran kaum intelektual, yang kesuksesan perjuangannya berakar pada kapasitas pengetahuan yang mumpuni.
Di era globalisasi, mayoritas negara meraih predikat “maju” karena mengalokasikan anggaran dan perhatian penuh pada sektor pendidikan. Sayangnya, Indonesia seolah berjalan kontras.
Fasilitas dan sistem pendidikan yang dibangun di negeri ini terkesan membatasi eksplorasi individu terhadap berbagai bidang keilmuan dan pengetahuan, alih-alih memfasilitasinya sesuai kebutuhan dan minat.
Tentu saja kondisi ini berlawanan dengan amanat alinea keempat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menyatakan tujuan negara adalah “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya negara memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Kuantitas vs Kualitas dan Pemerataan Akses
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per tahun 2024, Indonesia memiliki 2.937 perguruan tinggi, menempatkannya sebagai negara kedua dengan jumlah perguruan tinggi terbanyak. Namun, kuantitas universitas yang melimpah ini bukanlah jaminan bagi kemajuan sektor pendidikan.
Isu utamanya bukan hanya pada sistem pendidikan, tetapi juga ketidakmerataan lokasi. Hampir seluruh universitas unggulan berdiri di ibu kota atau kota metropolitan.
Akibatnya, banyak pelajar dari daerah pelosok terpaksa merantau, yang menuntut biaya tambahan besar seperti sewa kos, makan, transportasi, dan kebutuhan dasar lainnya.
Tidak semua kalangan masyarakat memiliki kemampuan finansial ini, memaksa banyak pelajar menunda atau bahkan membatalkan niat mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Biaya pendidikan dan Diskriminasi Jurusan
Keterbatasan akses pendidikan tinggi, bahkan merambah ke sejumlah jurusan tertentu. Memang benar, beberapa jurusan memerlukan biaya operasional yang besar yang seharusnya dibarengi dengan fasilitas memadai dan tenaga pendidik ahli.
Namun, banyak institusi menerapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak sebanding dengan kualitas yang ditawarkan. Tentu, hal ini patut dipertanyakan kembali.
Melansir data QS World University, yang memeringkatkan 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) teratas di Indonesia, secara umum UKT tertinggi ditemukan pada rumpun program studi Saintek, terutama dari Fakultas Kedokteran. Sementara di rumpun Soshum, biaya tertinggi umumnya ada pada bidang Ilmu Ekonomi, Bisnis, dan Hukum.
Khusus jurusan Kedokteran, UKT bisa mencapai angka Rp20 juta ke atas, belum termasuk biaya-biaya tambahan seperti buku, praktikum, dan lain-lain, yang totalnya bisa menghabiskan ratusan juta rupiah.
Jelas, yang dapat mengenyam pendidikan di bidang keilmuan “mewah” ini mayoritas hanya berasal dari kalangan tertentu. Lantas, bagaimana nasib pelajar berpotensi dari kalangan kurang mampu yang memiliki kemauan keras untuk menjadi seorang dokter?
Multikulturalisme sebagai Solusi
Sebuah studi dari Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi berjudul “Analisis Perbandingan Pendidikan Multikultural Indonesia dengan Negara Amerika, Kanada dan Inggris” menunjukkan bahwa dasar sistem pendidikan Indonesia seharusnya adalah pendidikan multikultural.
Konsep pengajaran ini membimbing cara menghargai dan memahami setiap perbedaan, baik budaya, suku, ras, agama, maupun individu itu sendiri.
Pandangan multikultural sangat tepat diterapkan di Indonesia yang memiliki keragaman yang luar biasa.
Tujuan konsep ini sederhana: mengajak pelajar menjaga kebudayaan, memperbaiki persepsi antarbudaya, serta memberikan saran untuk perubahan yang lebih baik di masa depan.
Apabila sistem pendidikan Indonesia benar-benar menerapkan konsep multikultural, seharusnya tidak akan ada diskriminasi atau batasan bagi kalangan masyarakat manapun untuk mengeksplorasi penuh beragam jenjang hingga bidang keilmuan yang mereka inginkan. Ketersediaan dana beasiswa dari anggaran pemerintah menjadi bukti nyata bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia (HAM) yang wajib didapatkan oleh seluruh rakyat.
Untuk mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa, eksklusivitas dalam pendidikan tinggi harus segera diakhiri demi terciptanya generasi emas yang berpengetahuan luas tanpa dibatasi oleh sekat-sekat ekonomi.
Editor: Vivin Noor Azizah
About Post Author
Vivin Noor Azizah
More Stories
Pers Sebagai Pilar Keempat Apa Pentingnya Itu?
[caption id="attachment_4632" align="aligncenter" width="960"] Sumber/Pinterest[/caption] Penulis: Oktavia Rhamadhona (Pengurus LPM Ukhuwah) Opini-Ukhuwahnews | Dalam negara yang menganut asas demokrasi, kekuasaan...
Green Paradoks
[caption id="attachment_4559" align="aligncenter" width="1922"] Ukhuwahdesain/Mohamad Shabir Al-Fikri[/caption] Penulis: Mohamad Shabir Al-Fikri Opini-Ukhuwahnews | Pemanasan global saat ini masih dianggap sebagai...
Ancaman Tersirat dari Penggunaan Chatgpt dalam Proses Aktualisasi Diri
[caption id="attachment_4090" align="aligncenter" width="1024"] Sumber/ Freepik[/caption] Opini-UKhuwahnews | Kemajuan teknologi seakan menjadi priotas utama bagi seluruh negara agar tidak tertinggal...
Upah Tak setara, Risiko tak dianggap: Wajah Buruk Kerja Bagi Perempuan
[caption id="attachment_3770" align="aligncenter" width="843"] Sumber/Pinterest[/caption] Penulis: Vitria Isabella (Pengurus LPM Ukhuwah) Sungguh menyedihkan ketika saya membaca fakta bahwa pekerja wanita...
Efisiensi Dana vs Kualitas Pembelajaran: Menimbang Kebijakan Belajar Daring di Hari Jum’at
[caption id="attachment_3289" align="aligncenter" width="500"] Ukhuwah desain/Yola Zakiyyah[/caption] Penulis : Yola Zakiyya Opini – Ukhuwahnews | Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah...
Modus, Maut, Profesi, dan Perempuan
[caption id="attachment_3166" align="aligncenter" width="1080"] Ukhuwah Desain/Winda Wulandari[/caption] Penulis : Winda Wulandari (Pemimpin Litbang) Opini – Ukhuwahnews | Baru-baru ini, kasus...
Average Rating