Read Time:2 Minute, 41 Second
Sumber/Pinterest

Penulis: Vitria Isabella (Pengurus LPM Ukhuwah)

Sungguh menyedihkan ketika saya membaca fakta bahwa pekerja wanita di Sumatera Selatan (Sumsel) hanya memperoleh rata-rata gaji sebesar Rp2,39 juta setiap bulan, yang lebih rendah dibandingkan pekerja pria yang mendapatkan Rp3,12 juta per bulan. Situasi ini mencerminkan suatu ketidakadilan yang telah terjadi secara berulang.

Dari Artikel yang saya baca di Sumsel24.com membahas kondisi buruh wanita di Sumsel, saya tercengang. Tidak masuk akal sekali saat perbedaan upah tersebut masih dianggap lumrah di era yang katanya menjunjung kesetaraan gender.

Dalam Artikel Sumsel24.com menampilkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel mencatat upah yang diterima oleh perempuan sebesar Rp730.

Kesenjangan upah gender menjadi problematika global yang belum terselesaikan secara tuntas. Tak hanya itu, hal yang lebih mengkhawatirkannya lagi adalah ketidakadilan ini justru dipandang remeh, seolah-olah kekuatan perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Sering kali hal ini disamarkan dengan alasan yang berkaitan dengan kodrat.

Baca juga: Efisiensi Dana vs Kualitas Pembelajaran: Menimbang Kebijakan Belajar Daring di Hari Jum’at

Pertanyaannya, mengapa kesenjangan tersebut terjadi dalam sistem kerja yang seharusnya bersifat adil? Padahal dalam bekerja, yang dinilai itu kemampuan bukan jenis kelamin. Dunia kerja seharusnya menuntut profesional dalam kesetaraan.

Padahal bahaya yang dihadapi oleh pekerja wanita juga sangat signifikan, seperti kisah Sri yang dilansir oleh Sumsel24.com, yang merupakan pekerja wanita yang bekerja buruh sawit di Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin (MUBA).

Ia harus bersedia melakukan pekerjaan berat setiap hari, tetapi masih banyak yang berpikir bahwa wanita merupakan beban pekerjaan, risiko yang dialami Sri harus siap berhadapan dengan bahan kimia yang dapat memberikan ancaman kesehatan serius. Apakah kesehatan perempuan yang menanggung beban berat yang sama, masih bisa dianggap sepele?

Bahkan yang lebih menyedihkanya lagi, tidak hanya Sri yang merasakan hal ini, tetapi Tika mantan pegawai toko waralaba di Palembang, juga harus melepaskan pekerjaan yang telah ia lakukan selama satu dekade, sebab perusahaan menghapus cuti lahiran. Tidak ada pengampunan sama sekali dari perusahaan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada penghargaan loyalitas, tidak ada ruang untuk perempuan tumbuh ketika ia memutuskan untuk melahirkan.

Apakah melahirkan dan menjadi seorang ibu adalah alasan yang valid untuk menggugurkan hak kerja? Apa tubuh perempuan tidak pernah dianggap sebagai produktivitas, namun hanya dianggap sebagai penghalang dalam pekerjaan?

Jika Sri yang rela tubuhnya menyerap zat kimia yang berisiko kematian, dan Tika yang mengharuskan lepas dari pekerjaan demi menjadi seorang ibu, maka saya katakan bahwa dunia kerja saat ini sedang menampilkan wajah paling buruk dari skema yang tidak berpihak kepada wanita. Bukan wanita yang tidak mampu, namun skemanya yang enggan mengakui kemampuan perempuan.

Mana yang katanya perlindungan bagi perempuan? Jika sampai detik ini perempuan masih dianggap ‘kendala’. Sudah saatnya kita berhenti menjadikan kata ‘kodrat’ sebagai tameng untuk melemahkan para wanita dalam dunia kerja. Kodrat bukan alasan yang mampu dijadikan sebagai diskriminasi pekerjaan, yang harusnya dibenahi bukan kodrat perempuan, melainkan skema yang tidak menghargai risiko dan waktu yang perempuan hadapi.

Pemerintah dan pelaku industri, khususnya perusahaan yang ada di Sumsel harus bertanggung jawab bukan hanya dengan ucapan manis di hari Kartini, tapi dengan kebijakan yang menjamin hak dan keadilan bagi perempuan. Perempuan tidak lemah, yang lemah adalah sistem masyarakat kepada hak mereka.

Editor: Ahmad Hafiizh Kudrawi

About Post Author

Ahmad Hafiizh Kudrawi

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
100 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post LP2M UIN Raden Fatah Lepas 1.000 Mahasiswa KKN ke Kabupaten Ogan Ilir
Next post Mahasiswa KKN UIN RF Gerakkan Transformasi Digital di Desa Dusun Tengah