
Penulis: Kelompok Bhinneka Tunggal Ika
Medan-Ukhuwahnews | Pada pagi yang menyuguhkan sejuknya udara di dataran tinggi Berastagi, aktifitas berjalan riuh di setiap sudutnya. Di antara hiruk-pikuk manusia yang mempertahankan kehidupan lewat kerja keras, Pasar Buah Berastagi mencolokkan keberadaannya sejak pagi tadi. Lahan parkir yang menjadi pekarangan tempat awal wisatawan keluar-masuk, dipadati beragam jenis kuda yang gagah mengepakkan ekornya sesekali.
Ditemani para kusir atau penyedia layanan sewa kuda bagi turis lokal maupun mancanegara, kuda-kuda itu kerap menyambangi kendaraan yang memasuki area parkiran demi mencuri hati pengunjung untuk menaikinya. Lalu di pinggir jalan masuk Taman Mejuah-juah yang terletak bersebelahan dengan Pasar Buah Berastagi, bertengger penjual makanan ringan dan minuman segar pelipur dahaga.
Lebih dalam menyusuri, terlihat berpuluh pedagang yang saut menyaut menjajakan dagangan pada setiap pengunjung yang melewati gerainya. Meskipun buah-buahan seakan menjadi ikon di sini, terdapat sangat banyak jenis dagangan yang dijual di pasar ini, mulai dari sayur mayur, cinderamata unik khas Tanah Karo, tanaman indah yang menghiasi separuh jalan di salah satu sudut pasar, hingga ragam cokelat yang disajikan utuh maupun dilelehkan di atas buah segar seperti stroberi, yang tengah ramai digemari pengunjung apabila mampir ke pasar ini.
Baca juga: Tradisi Bidar, Warisan Daerah Sumsel Diturunkan dengan Penuh Kebanggaan
Tempat ini, bukan sekadar objek wisata yang menjual sesuatu untuk diperdagangkan dan memuaskan pengunjung belaka. Di sinilah para perempuan Tanah Karo mengulas senyum dan ramah menyapa sambil tangannya melambaikan buah dan sayur yang ia angkat tinggi-tinggi.
Seorang wanita paruh baya berkerudung dengan kacamata persegi panjang bertengger di kedua matanya, fasih berbincang dengan turis asing yang menghampiri gerainya. Beberapa pedagang ramah mengeluarkan sepatah kalimat, basa-basi menanyakan asal dan kepentingan pengunjung yang datangnya berbondong-bondong.
Namun, jauh di luar pasar, di antara kuda dan delman yang berebut pengunjung, berpadu gerung kendaraan dan suara-suara pengunjung yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, sosok wanita dengan sepetak wadah yang ditenteng ke sana kemari mencuri perhatian.
Wanita itu adalah penjual cokelat keliling yang menjajakan cokelat buatannya sendiri dengan berbagai jenis isian. Nisa, begitu ia memperkenalkan dirinya pada kami. Di usia yang telah mencapai 55 tahun, ia mengaku telah menghabiskan enam tahun terakhir hidupnya sebagai pedagang buah dan cokelat di kawasan wisata ini.
Dengan tangannya yang lihai membetulkan posisi cokelat di dalam wadah jualannya, Nisa dengan ramah membeberkan fakta bahwa ia merupakan pendatang asal Padang yang memutuskan merantau ke Berastagi sejak tahun 2019.
Bermodalkan tekad dan keyakinan yang juga diberikan kerabat terdekatnya, Nisa dan suaminya memutuskan datang ke Tanah Karo ini untuk mencari tambahan penghasilan bagi keluarga. Kini, dia tinggal di Sibayak, sementara suaminya bekerja sembari menetap di Gundaling, sedangkan anak-anak mereka tetap tinggal dan melanjutkan pendidikan di Padang.
Keputusan berat untuk tinggal terpisah ini ia dan suaminya ambil, demi masa depan tiga dari ketujuh anaknya yang masih bersekolah, tentu harapannya untuk tetap mampu membiayai anak-anaknya dalam mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi.
“Kalau dibilang capek ya pasti capek, tapi namanya tuntutan hidup, jadi mengharuskan untuk berjualan dengan berkeliling,” tutur Nisa saat ditemui di sekitar lokasi ia berjualan pada Selasa (05/08/2025).
Pasar Buah Berastagi bukan hanya pusat transaksi hasil pertanian khas dataran tinggi Karo, melainkan juga ruang hidup bagi para pedagang kecil yang menggantungkan harapan mereka dari lalu lalang para wisatawan. Usahanya bukan sekadar berdagang, tetapi juga bentuk dari perjuangan panjangnya sebagai ibu dari tujuh anak.
Dagangan utama Nisa adalah cokelat dengan berbagai isian. Ia membuatnya sendiri dengan bahan-bahan yang ia racik dari hasil pengalaman dan eksperimen pribadi.
Proses produksinya juga dilakukan di rumah, sejak dari pemilihan bahan, proses pengolahan, mencetak bentuk-bentuk cokelat, hingga pengemasan, semuanya dilakukan beliau sendiri tanpa bantuan tenaga kerja.
“Saya nggak stok banyak-banyak. Kalau hari ini nggak habis, besok dijual lagi. Tapi cokelat keju dan kacang masih tahan, beda sama stroberi dan blueberry, itu cepat busuk,” imbuh Nisa menjelaskan ragam cokelat yang ia jual.
Dalam sekejap mata, Nisa mampu menjelaskan manajemen kecil usahanya, dimulai dari rotasi barang, perkiraan stok, bahkan pemahaman tentang pasar wisata yang fluktuatif. Ia tahu betul bahwa cuaca, musim liburan, hingga acara besar seperti natal dan tahun baru sangat mempengaruhi jumlah pengunjung dan daya beli.
“Kalau pengunjung banyak, alhamdulillah yang beli juga banyak. Di hari ramai bisa untuk ditabung, tapi kalau hari-hari biasa, ya cukup untuk kebutuhan makan saja,” ujar wanita penjual cokelat keliling.
Ketika banyak orang seusianya mulai berpikir untuk pensiun atau tinggal santai di rumah, Nisa justru tetap berkeliling pasar untuk menjajakan cokelat buatannya. Terkadang di tengah panas menyengat, terkadang pula dalam gerimis tipis yang memayungi dataran tinggi Berastagi. Baginya, berjualan bukan hanya untuk mengumpulkan uang, tetapi juga mengukir bentuk cinta. Cinta kepada anak-anaknya.
“Capek ya pasti capek, kadang kaki ini nyeri semua, tapi kalau saya berhenti, nanti penghasilan berkurang,” Nisa santai berujar.
Meski sudah menetap di Sumatera Utara, Nisa tidak pernah benar-benar meninggalkan kampung halamannya. Ia dan suaminya masih rutin pulang ke Padang setahun sekali. Selain untuk menengok anak yang tinggal di sana, juga sebagai bentuk pelestarian akar dan identitas diri.
Sebagai perantau, ia paham pentingnya membangun jejaring sosial. Ia tidak sekadar menjajakan cokelat, tapi juga menyapa orang lain dan menjaga hubungan baik dengan tetangga di sekitar.
“Di sini saya sering wirid (perbuatan sunnah) karena harus pintar-pintar bergaul, kenalan, apalagi kita orang rantau. Teman itu penting.” tutur Nisa.
Berjualan di kawasan wisata seperti Berastagi memang menjanjikan, tetapi juga penuh tantangan. Ada musim ramai, tetapi ada pula hari-hari sepi. Hujan deras bisa membuat pasar mendadak lengang, dan perubahan tren wisata bisa sangat mempengaruhi dagangan.
Akan tetapi, Nisa tidak menyerah. Ia sudah terbiasa dengan naik turunnya pendapatan. Baginya, yang terpenting setiap hari ada cokelat yang terjual dan mengisi pemasukan hariannya.
Strateginya sederhana tapi efektif: tidak membuat stok berlebih, menjaga kualitas produk, dan terus menjalin hubungan baik dengan pengunjung dan pedagang lainnya.
Setiap perantau pasti punya masa di mana ia meragukan keputusannya. Namun, tidak demikian dengan Nisa. Ketika ditanya apakah ia pernah menyesal meninggalkan Padang dan merantau ke Brastagi, ia langsung menggeleng mantap. Ia tidak pernah menyesali keputusan yang ia ambil demi anak-anaknya.
Bagi Nisa dan suami, menyerah sama dengan membiarkan anak-anaknya hidup susah. Perjalanan Nisa adalah cermin dari begitu banyak perempuan Indonesia yang memilih berdiri di garda depan ekonomi rumah tangga. Ia bukan hanya pedagang cokelat, ia adalah ibu, istri, pengusaha kecil, dan penguat keluarga.
Potret perempuan berdaya yang jarang tertangkap kamera wisatawan di tengah luas objek wisata Berastagi. Kisah tentang Nisa, tentang tangan-tangan yang membuat cokelat dengan kasih sayang, tentang kaki yang menapak berjam-jam di tengah keramaian pasar, merupakan potret yang dapat ditemui lewat percakapan dan transaksi jual beli di tempat-tempat wisata dan perdagangan.
Perjalanan rantau Nisa membawa kita untuk lebih dari sekadar melihat apa yang dijual dan tampak oleh mata di pasar-pasar wisata. Lebih dari itu, Nisa membuka jalan bagi para pengunjung untuk melihat lebih dekat tabir realita yang sangat dekat dengan kehidupan ini.
Sosok-sosok seperti Nisa tidak hanya menjajakan barang, tetapi juga memperjuangkan harapan, membangun masa depan, dan menunjukkan bahwa banyak perempuan yang teguh berjuang menjadi penopang ekonomi.
Dalam kehidupan yang besinggungan dengan berbagai jenis biaya yang harus dikeluarkan, pundi-pundi uang seakan barang langka yang sampai mengharuskan seorang ibu berjauhan dan tinggal terpisah dari anak-anaknya. Mengenyampingkan keinginan berdekatan dan melihat proses pendidikan anak-anaknya.
“Kalau kita hidup cuma untuk mengeluh, ya nggak jalan. Harus bergerak, harus kuat, karena hidup ini terus jalan,” kata Nisa menutup percakapan yang menjalari kami selama melihat dan memilah cokelat dagangannya.
Editor: Ahmad Hafiizh Kudrawi
About Post Author
Ahmad Hafiizh Kudrawi
Average Rating
One thought on “Manisnya Cokelat dari Tanah Karo, Seulas Mimpi Pendidikan Tinggi untuk Anak”
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
More Stories
Siti Aminah, Penjaga Tradisi Nipah di Tepi Sungai Musi
[caption id="attachment_4623" align="aligncenter" width="1600"] Pengrajin mengikat daun nipah kering yang akan dijadikan rokok pucuk nipah di Kampung Anyaman 3/4 Ulu,...
Aksi Demonstrasi Bukan Hanya Kerusuhan, Wujud Suarakan Kemanusiaan
[caption id="attachment_4466" align="aligncenter" width="1500"] Pengunjuk rasa masuk ke halaman gedung DPRD Sumsel, Senin (01/09/2025). Ukhuwahfoto/Al Dona[/caption] Penulis: Selo Obrian (Pengurus...
Menyusuri Warisan Tionghoa di Tepi Musi
[caption id="attachment_4373" align="aligncenter" width="1280"] Papan bertuliskan sejarah singkat berdirinya Kampung Kapitan yang berada di Kelurahan 7 Ulu Kota Palembang, Senin...
Pempek di Tengah Riuh Negeri: Kisah dari Ulu Palembang
[caption id="attachment_4377" align="aligncenter" width="1280"] Pempek goreng yang siap disajikan kepada pengunjung kedai, di Kecamatan Seberang Ulu 1 Palembang, Senin (25/08/2025)....
Bukan Sekadar Seduhan Kopi: Realitas Kedai Ruang Diskusi
[caption id="attachment_4318" align="aligncenter" width="2560"] Potret Mahesa Putra sedang melakukan proses pembuatan kopi di meja bar kedai kopi Mibar, di Jalan...
Mengenal Pos Bloc Medan, dengan Berbagai Tempat Sekaligus di Dalamnya
[caption id="attachment_4266" align="aligncenter" width="1280"] Lukisan gedung Post Block dan sepeda ontel antik yang biasa digunakan dalam mengantar surat pada masa...
[…] Baca juga: Manisnya Cokelat dari Tanah Karo, Seulas Mimpi Pendidikan Tinggi untuk Anak […]