Read Time:2 Minute, 18 Second
Spanduk yang terbentang di posko Yayasan Anak Padi Desa Muara Maung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. (19/10/2025). Ukhuwahfoto/ Marshanda.

Lahat – Ukhuwahnews | Suara warga Desa Muara Maung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, terus bergema di tengah panas dan debu tambang yang kian menyesakkan. Mereka menamakan dirinya Yayasan Anak Padi, komunitas yang berdiri sejak 2018 sebagai bentuk perlawanan terhadap kerusakan lingkungan, akibat aktivitas pertambangan dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berdiri tak jauh dari pemukiman.

Bagi warga, udara yang kian sesak dan lahan yang mengering menjadi tanda bahwa desa mereka tak lagi sama. Sawah-sawah yang dulu hijau kini berganti tanaman kedelai, mengikuti kondisi cuaca yang tidak menentu.

Sebagian tanah retak karena kekeringan. Dari keresahan itu, muncul semangat untuk bergerak dan mempertahankan hak atas lingkungan yang sehat.

“Kami berkumpul, belajar bersama, dan melawan panas yang kami rasakan. Itu bentuk perlawanan kami,” ujar Sahwan, pendiri Yayasan Anak Padi, pada Minggu (19/10/2025).

Baca juga: Jongot: Tanah Adat Simbol Persaudaraan dan Warisan Leluhur

Supri (75), warga Desa Muara Maung melihat makam peristirahatan Puyang Raden Singa Mangla, di Desa Kebur, Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat, Minggu (19/10/2025). Ukhuwahfoto/ Marshanda

Perlawanan yang dilakukan Anak Padi, tidak berangkat dari pelatihan formal atau teori lingkungan yang rumit. Ia tumbuh dari pengalaman hidup sehari-hari, dari rasa sesak akibat debu, dan dari keyakinan bahwa udara bersih adalah hak setiap warga.

“Bentuk perlawanan kami datang langsung ke perusahaan untuk protes,” tambah dia.

Langkah mereka tidak berhenti di situ. Yayasan Anak Padi juga melaporkan kondisi lingkungan Muara Maung ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dinas Lingkungan Hidup (DLH), dan pemerintah daerah. Upaya ini dilakukan agar suara warga desa tidak tenggelam di tengah kepulan asap industri.

Namun perjuangan itu tidak mudah. Tekanan datang dari berbagai pihak, bahkan ada laporan balik terhadap komunitas ini.

“Kami sempat dianggap merusak, tapi kami tahu kunci kemenangan ada di keberpihakan. Selama berpihak pada rakyat dan kebenaran, kami tidak akan berhenti,” tegas Sahwan.

Makam Puyang Raden Singa Mangla, Ulama dari Madura. Minggu (19/10/2025). Ukhuwahfoto/ Marshanda

Kini, Yayasan Anak Padi beranggotakan kurang lebih 20 orang. Mereka rutin berkumpul untuk berdiskusi, merawat solidaritas, dan menjaga semangat kolektif. Bagi mereka, perlawanan tidak selalu dengan teriak di jalan, tetapi juga lewat kesadaran dan pendidikan warga.

“Kami orang kecil, tidak punya banyak hal. Tapi kami punya hak untuk hidup adem, tenang, dan tenteram. Itu filosofi kami,” tutur dia.

Di tengah panas dan debu yang terus menyelimuti Muara Maung, anak Padi tetap menanam perlawanan perlahan namun pasti. Seperti padi yang tumbuh di tanah keras, mereka percaya perjuangan sekecil apa pun tetap bisa memberi kehidupan.

Reporter: Marshanda

Editor: Ahmad Hafiizh Kudrawi

About Post Author

Ahmad Hafiizh Kudrawi

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post UIN Raden Fatah Raih Pengakuan Internasional dari Yordania
Next post Peringati Hari Sumpah Pemuda, UIN RF Persiapkan SDM Unggul 2045.