Read Time:3 Minute, 15 Second
Arpan, seorang warga Desa Tempirai sekaligus pemilik salah satu warung kopi di Tempirai Utara, Kecamatan Penukal Utara, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Provinsi Sumatera Selatan. Ukhuwahfoto/Mohamad Shabir Al Fikri

Penukal Abab Lematang Ilir-Ukhuwahnews | Tempirai merupakan sebuah daerah yang terletak di Kecamatan Penukal Utara, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Provinsi Sumatera Selatan. Wilayah ini punya kawasan lahan basah dengan luas 13.904 hektar.

Pemukiman di Tempirai merupakan salah satu hal yang unik dari daerah ini, masyarakat setempat menata rumah mereka dalam posisi melingkar, yang di mana semua rumah menghadap ke satu titik pusat, yang berupa Balai Pertemuan dan Masjid.

Struktur ini terdiri dari tujuh deret yang memanjang ke belakang. Setiap baris tersebut mewakili tujuh puyang (leluhur) yang pertama kali membangun pemukiman, yakni berasal dari tujuh talang (daratan) di lahan basah Tempirai.

Baca juga: Jongot: Tanah Adat Simbol Persaudaraan dan Warisan Leluhur

Bentuk pemukiman yang melingkar bukan hanya sebagai estetika semata, tapi juga simbol kekerabatan dan silahturahmi antar keturunan meskipun dengan latar belakang yang berbeda.

Tidak hanya tercermin dari bentuk pemukiman yang melingkar, simbol kekerabatan itu juga hadir dalam bentuk warung kopi yang menjamur di daerah ini. Salah satunya warung kopi milik Arpan, ia mengaku membuka warung kopi sejak tahun 1988.

“Awal buka warung kopi sejak tanggal 11 bulan 11 tahun 1988,” ucapnya.

Arpan bercerita, warung kopi miliknya biasa dijadikan warga sekitar untuk berdialog, baik sebelum berangkat bekerja atau setelah menghabiskan waktu di ladang.

“Kalau kebiasaan kita setiap pulang dari kebun sekitar jam 12 ke atas, di sini berkumpul, mengopi dan berdialog bersama-sama, ada juga yang meminum kopi sebelum berangkat bekerja,” Katanya.

Ia juga menuturkan hal ini sudah menjadi kebiasaan oleh masyarakat Tempirai, di warung kopi, mereka biasa bertemu dan menyelesaikan masalah, bahkan Arpan menganggap bukan sudah masanya lagi untuk bertemu di kediaman masing-masing.

“Untuk masyarakat Tempirai bertemunya di warung kopi semua yang mereka kerjakan di warung kopi, bukan zamannya lagi bertemu di rumah kalau ada perlu,” tutur Arpan dengan semangat.

Sebagai informasi, warung kopi di Tempirai biasa menyajikan kopi tubruk khas Penukal yang disebut Kopi Tapia yang berbahan dasar kopi yang digiling kasar.

“Kopi tidak kasar tidak maju, karena tidak enak,” timpal salah satu pengunjung warung kopi Arpan.

Tangan Arpan memegang serbuk kopi yang biasa ia seduh dan dijual ke pengunjung warung kopinya, serbuk ini akan mengapung saat disebuh dengan air mendidih, lalu diambil dengan sendok saat akan diminum. Ukhuwahfoto/Mohamad Shabir Al Fikri

Tak hanya sebagai ruang dialog masyarakat setempat, warung kopi milik Arpan juga menjadi mata pencahariannya sehari-hari. Arpan mengaku ia bisa berjualan 20 sampai 30 cangkir kopi bahkan ketika warung kopinya sedang ramai, ia dapat mencapai 100 cawan kopi yang terjual.

“Biasanya 20 sampai 30, tapi kalau ada pesta bisa sampai 100,” ungkapnya

Pengunjung warung kopi Arpan-pun beragam, mulai dari masyarakat setempat hingga penduduk daerah sekitar (PALI), seperti Sekayu bahkan sampai bupati setempat.

“Yang datang biasanya macam-macam seperti sekayu, bupati-pun pernah kesini,” ujar Arpan

Kopi Tapia yang sudah diaduk dan menimbulkan busah berwarna coklat ke-emasan setelah didiamkan beberapa saat, saat akan diminum pengunjung biasa mengambil serbuk yang mengambang dan diletakan pada piring yang ada di bawah cangkir kopi. Ukhuwahfoto/Mohamad Shabir Al Fikri

Senada dengan yang dijelaskan Arpan, Muhammad Faisal seorang warga Desa Tempirai Selatan menjelaskan kebiasaan masyarakat Desa Tempirai yang senang berdialog di warung kopi setempat.

“Pertemuan warga di warung kopi lebih mengikat masyarakat sekitar, karena topik obrolan yang lebih luas, kalau kita bertemu di rumah biasanya untuk membicarakan hal-hal yang lebih privat,” jelas Faisal.

Warung kopi menjadi simbol kekerabatan yang hadir dalam masyarakat Tempirai, tempat ini menjadi ruang interaksi yang hadir secara konkret daerah dengan pemukiman melingkar ini.

“Jika warung kopi hilang maka interaksi dalam masyarakat tidak nampak,” tutup Faisal.

Reporter: Mohammad Shabir Al-Fikri
Editor: Ahmad Hafiizh Kudrawi

About Post Author

Ahmad Hafiizh Kudrawi

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Sriwijaya Lantern Festival 2025: 10.000 Lampion Bersinar Negeri Berkilau Bumiku
Next post Mengenal Pos Bloc Medan, dengan Berbagai Tempat Sekaligus di Dalamnya