Read Time:3 Minute, 11 Second
Sumber/Pinterest

Opini-Ukhuwahnews |  Sejak era 1980-an Indonesia mulai mengalami arus globalisasi, hal ini dimulai dengan langkah konkret pemerintah orde baru yang menerbitkan, Undang-undang (UU) No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

UU ini menjadi dasar hukum bagi perusahaan luar Indonesia untuk menanamkan modalnya di berbagai sektor seperti pertambangan, perbankan, hingga industri manufaktur. Hal ini merupakan gambaran awal, ketika pemerintah orde baru membuka diri terhadap perdagangan bebas dan investasi asing.

Setelah krisis ekonomi yang dialami pada tahun 1998, Indonesia menampakkan liberalisasi ekonomi yang semakin kuat, pemerintah saat itu menandatangani kesepakatan dengan International Monetary Fund (IMF) untuk melakukan reformasi ekonomi secara besar-besaran. Akibatnya dunia bisnis Indonesia semakin mengandung dinamika.

Hal ini menimbulkan tantangan baru, ketika banyak perusahaan lokal bekerja sama dengan perusahaan asing serta membuat kontrak atau perjanjian antar perusahaan, hal itu akan memperbesar potensi sengketa bisnis yang ada di wilayah yurisdiksi Indonesia.

Baca juga: Eksklusivitas Pendidikan Tinggi di Indonesia

Arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa

Penyelesaian sengketa secara cepat, efisien, dan adil menjadi kebutuhan yang mendesak bagi keberlanjutan hubungan antar pelaku usaha. Mekanisme penyelesaian sengketa di Indonesia saat ini terbagi menjadi dua mekanisme yaitu litigasi dan non litigasi.

Arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa secara non-litigasi yang menawarkan solusi dari kebutuhan tersebut, dengan proses yang lebih cepat serta efisien, dibandingkan dengan sistem penyelesaian litigasi yang cenderung formal, dan harus melalui banyak tahap.

Lahirnya Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjadi tonggak perubahan hukum acara perdata di Indonesia yang mengakomodasi dinamika dunia usaha.

Pasal 3 dan Pasal 11 menjadi dua pasal penting dalam UU ini, karena menegaskan tentang kemandirian arbitrase (Autonomy of Arbitration). Ditegaskan oleh kedua pasal ini, bahwa dengan adanya perjanjian penyelesaian perkara secara arbitrase, meniadakan hak para pihak untuk mengajukan sengketa ke pengadilan negeri, dengan demikian arbitrase menjadi forum final and binding yang mandiri dari kekuasaan kehakiman konvensional.

Tantangan dalam menerapkan abitrase

Namun dalam praktiknya, kemandirian arbitrase tengah menghadapi sebuah tantangan, terkadang pengadilan di tingkat pertama masih memiliki potensi menerima gugatan yang seharusnya diselesaikan secara arbitrase, dengan alasan formil seperti klausula yang tidak jelas. Selain itu proses ekseskusi terhadap putusan arbitrase masih memerlukan peran pengadilan dan terkadang memakan waktu yang lama, sehingga mengurangi prinsip efisiensi arbitrase.

Selain itu keterbatasan akses bagi masyarakat kecil juga menjadi kendala untuk mekanisme penyelesaian perkara secara non litigasi ini, arbitrase cenderung mahal dan berorientasi pada sengketa bisnis, sehingga belum inklusif bagi masyarakat yang berkonflik di luar konteks bisnis, terlebih lagi kesadaran masyarakat hukum di Indonesia, khususnya pelaku usaha kecil, masih rendah dalam memahami fungsi arbitrase.

Dalam konteks ini, arbiter memiliki kedudukan yang mirip dengan hakim namun bukanlah bagian dari sistem peradilan negara, melainkan pihak swasta yang dipilih berdasarkan kesepakatan pihak yang bersengketa, dengan sifatnya yang privat, maka pengawasan terhadap perilaku dan integritas arbiter tidak diatur seketat hakim, dan memperbesar potensi moral hazard dalam dunia arbitrase nasional.

Arbitrase menempatkan penyelesaian sengketa di tangan lembaga privat yang tidak tunduk sepenunya pada asas transparansi, akuntabilitas, dan kontrol publik. Jika kita tinjau sebagai negara hukum (rechsstaat), Indonesia menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai pelaksana utama keadilan.

Kuatnya posisi arbiter justru menyuburkan privatisi keadilan, di mana penyelesain sengketa hanya menjadi hak istimewa bagi kalangan yang mampu untuk membayar.

Secara konstitusional, Mahkamah Agung (MA) adalah puncak kekuasaan kehakiman di bawah pasal 24 UUD 1945, yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan badan peradilan di bawahnya untuk menegakkan hukum dan keadilan termasuk dalam urusan perdata dan bisnis.

Dalam sistem peradilan nasional orientasi pada penguatan lembaga peradilan negara bukan sekadar menyerahkan penyelesaian perkara kepada lembaga privat seperti arbitrase.

Perlu adanya studi yang mendorong MA dan badan arbitrase agar berjalan beriringan untuk memperbaiki sistem penyelesaian perkara yang sesuai dengan realitas sosial agar dapat menjadi sarana mencari keadilan, bukan hanya prosedur formal, serta meminimalisir privatisi keadilan.

Editor: Ahmad Hafiizh Kudrawi

About Post Author

Ahmad Hafiizh Kudrawi

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Sekolah Gajah di Lahat, Pengalaman Unik Berinteraksi dengan Gajah