
Penulis: Mohamad Shabir Al Fikri
Suap menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan suatu hal yang dijemput dengan jari dan dimasukkan ke mulut ketika makan, namun seiring perkembangan zaman terminologi suap semakin luas, bukan hanya berkaitan dengan makanan atau aktivitas saat memenuhi asupan tubuh, tetapi juga mengarah kepada tindak kejahatan yang merusak moralitas bangsa.
Mahrus Ali dalam bukunya yang berjudul “Delik-delik Korupsi” mendefinisikan suap sebagai pemberian atau janji kepada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatannya.
Bak budaya, berkembang dan diturunkan dari satu generasi ke generasi lain, praktik suap-menyuap dianggap oleh masyarakat Indonesia sebagai hal biasa, bahkan dianggap sebagai perbuatan yang jauh dari kalimat melanggar aturan.
Baca Juga: Solidaritas Perempuan Peringati IWD, Suarakan 11 Tuntutan
Hampir diseluruh sektor kehidupan masyarakat dapat dengan mudah ditemukan praktik ini, seperti memberikan uang kepada polisi lalu lintas saat diberhentikan karena melanggar aturan hanya karena tidak ingin repot mengurus hal-hal administratif, sampai dengan menyuap pejabat kekuasaan kehakiman untuk meringakan hukuman yang akan dijalani.
Karena sering dianggap wajar, hal ini secara terus-menerus tertanam dalam kepala masyarakat Indonesia, seolah-olah suap merupakan hal yang lumrah. Dapat dilihat dengan presepsi masyarakat Indonesia yang menganggap melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Polisi Republik Indonesia (Polri) tidak akan lulus jika tidak dengan suap.
Oleh karena itu suap sering dikenal dengan uang pelicin, sogok, dan istilah-istilah lainnya. Padahal pemberi dan penerima suap sama-sama melakukan tindak korupsi. Dalam buku Sosiolog Hukum: Sesuatu Pengantar karya Baso Madiong disebutkan, suap dianggap sebagai bentuk primitif dan induk korupsi.
Ditambah lagi, tindak pidana suap sudah diatur secara jelas dalam Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 1980 dalam Pasal 2 menyatakan setiap orang yang melakukan tindak pidana suap dapat dipidana dengan penjara paling lama lima tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp15 juta.
Lawrence Meir Friedman dalam tulisannya The Legal System A Social Science Perspective memaparkan tiga komponen penting dalam sistem hukum:
1. Substance (Substansi)
Substansi menurut Friedman merupakan output dari sistem hukum berupa keputusan-keputusan, atau peraturan-peraturan yang digunakan oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.
2. Structure (Struktur)
Struktur hukum adalah kelembagaan yang dibuat dalam rangka melaksanakan peraturan yang telah dibuat dan mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut.
3. Culture (Kultur)
Kultur hukum merupakan nilai-nilai yang mempengaruhi sistem hukum, budaya hukum inilah yang menjembatani peraturan hukum dengan tingkah laku hukum masyarakat.
Di Indonesia sendiri substansi hukum mengenai suap ataupun tindak pidana korupsi, sudah sangat jelas diatur seperti dalam UU Nomor 11 Tahun 1980 dan UU Nomor 20 Tahun 2001. Dalam hal pelembagaannya sendiripun secara gamblang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang bertujuan meningkatkan upaya penumpasan korupsi.
Namun, persoalan utama bangsa saat ini terdapat pada nilai-nilai yang telah lama eksis dalam pergaulan hidup masyarakatnya. Seperti yang dipaparkan oleh penulis di atas, kebiasaan suap-menyuap telah lama lahir dalam nafas sosial individu Indonesia.
Pada akhirnya, penumpasan suap bukan hanya berbicara tentang membuat peraturan yang memberikan sanksi seberat-beratnya, atau mempekerjakan lembaga pemberantasan korupsi sekuat-kuatnya, namun juga membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni agar sesuai dengan penegakan hukum yang ideal.
Jika ketiga komponen menurut Friedman tersebut berjalan dengan optimal maka kehidupan sistem hukum yang ideal bukan hanya sebatas kenyataan normatif atau seyogianya dilakukan (das sollen) namun juga menunjukkan bagaimana sebenarnya dalam kenyataan (das sein).
Editor: Vivin Noor Azizah
About Post Author
Vivin Noor Azizah
More Stories
Eksklusivitas Pendidikan Tinggi di Indonesia
[caption id="attachment_4688" align="aligncenter" width="2560"] Ukhuwah Desain/Ahmad Hafiz Qudrawi[/caption] Oleh: Ahmad Hafiizh Kudrawi Pendidikan adalah kunci pembebasan bagi individu dan bangsa...
Pers Sebagai Pilar Keempat Apa Pentingnya Itu?
[caption id="attachment_4632" align="aligncenter" width="960"] Sumber/Pinterest[/caption] Penulis: Oktavia Rhamadhona (Pengurus LPM Ukhuwah) Opini-Ukhuwahnews | Dalam negara yang menganut asas demokrasi, kekuasaan...
Green Paradoks
[caption id="attachment_4559" align="aligncenter" width="1922"] Ukhuwahdesain/Mohamad Shabir Al-Fikri[/caption] Penulis: Mohamad Shabir Al-Fikri Opini-Ukhuwahnews | Pemanasan global saat ini masih dianggap sebagai...
Ancaman Tersirat dari Penggunaan Chatgpt dalam Proses Aktualisasi Diri
[caption id="attachment_4090" align="aligncenter" width="1024"] Sumber/ Freepik[/caption] Opini-UKhuwahnews | Kemajuan teknologi seakan menjadi priotas utama bagi seluruh negara agar tidak tertinggal...
Upah Tak setara, Risiko tak dianggap: Wajah Buruk Kerja Bagi Perempuan
[caption id="attachment_3770" align="aligncenter" width="843"] Sumber/Pinterest[/caption] Penulis: Vitria Isabella (Pengurus LPM Ukhuwah) Sungguh menyedihkan ketika saya membaca fakta bahwa pekerja wanita...
Efisiensi Dana vs Kualitas Pembelajaran: Menimbang Kebijakan Belajar Daring di Hari Jum’at
[caption id="attachment_3289" align="aligncenter" width="500"] Ukhuwah desain/Yola Zakiyyah[/caption] Penulis : Yola Zakiyya Opini – Ukhuwahnews | Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah...
Average Rating