Read Time:2 Minute, 4 Second
Mahasiswi KKN Rekognisi mengajak anak-anak mengikuti senam bersama sebagai bagian dari program peningkatan kesehatan, di Lorong Pendopo, Kecamatan kemuning, Minggu (04/05/2025). Ukhuwahfoto/Vitria Isabella

Penulis : Vitria Isabella (Pengurus LPM Ukhuwah)

Namanya Faiz, bocah sembilan tahun yang baru duduk di kelas empat SD. Tubuhnya kecil, tak seberapa tinggi. Rambutnya awut-awutan, sebagian menempel di dahi karena lembab.

Setiap sore, dia duduk di saf belakang Masjid Nurul Khoirot dengan buku tulis kusam dan pensil pendek tergenggam erat di tangan kanannya.

Suara Faiz nyaris tak terdengar dalam keramaian. Tapi, dia selalu datang. Kadang terlalu awal, kadang saat matahari belum sepenuhnya jinak.

Baca Juga: Kampung Tempe Palembang: Antara Mesin dan Tradisi

Buku tulisannya tidak baru, lembarnya koyak sana-sini dan noda minyak yang mengering di ujung halaman. Tapi isinya penuh deretan nama Presiden, bentuk bantun datar, daftar kosa kata Bahasa Arab, dan diujung halaman terakhir, pantun sederhana hasil kerja tangannya.

Tulisan itu diam-diam disodorkan kepada seorang mahasiswi tanpa sepatah kata. Tangan yang mengulurkannya gemetar, tapi senyum kecil terukir di bibir anak itu. Itu adalah kali pertama ia tersenyum selama les berlangsung.

Hari itu, ia menulis:
Hari Jumat pergi ke masjid,
Pakai baju bersih dan wangi.
Aku senang belajar di masjid,
Karena bisa ngaji bareng Ayuk.

Faiz mengikuti kegiatan belajar interaktif berupa permainan tebak kata yang dipandu mahasiswi KKN, sebagai upaya meningkatkan minat belajar anak-anak di Lorong Pendopo, Kecamatan kemuning, Selasa (03/05/2025).

Faiz bukan satu-satunya anak di Lorong Pendopo yang mengikuti “les ceria” program belajar gratis dari Mahasiswa KKN UIN Raden Fatah Palembang. Setiap hari, masjid itu berubah jadi ruang belajar.

Anak-anak yang lain datang sambil membawa buku, bekal, dan penuh tawa. Sebagian masih belajar huruf hijaiyah, sebagian lagi sudah lancar mengaji.

Setiap sore, anak-anak di Lorong Pendopo menyambut mahasiswi dengan suara riang, “Ayuuuk, hari ini kito belajarnyo sambil main, yo.

Faiz hidup bersama ibunya, Ririn yang sehari-hari bekerja sebagai tukang cuci pakaian di sekitar lorong Pendopo. Sejak perceraian orang tuanya, Ririn menjadi satu-satunya yang menopang kehidupan Faiz sehari-hari.

Setiap kali Faiz pulang dari kegiatan belajar, ibunya terlihat lega dan tersenyum, “Seneng nian rasonyo nengok Faiz pacak belajar gratis. Mokasi yo, Yuk sudah bukak kelas belajar di sini,” ucapnya dengan logat Palembang yang kental.

Bagi sang ibu, program belajar ini menjadi cahaya harapan, yang membuat Faiz terus bersemangat menapaki jalan hidupnya, meski penuh keterbatasan

Editor: Annisaa Syafriani

About Post Author

Annisaa Syafriani

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Potret Pengelolaan Tempe Tertua di Palembang Masih Andalkan Cara Tradisional
Next post Sinopsis Sayap Sayap Patah 2: Tantangan Perjuangan Seorang Ayah untuk Anaknya