
Artikel – Ukhuwahnews | Ketika mendengar kata kolonialisme, apa yang langsung terlintas dalam benak kita? Mungkin konflik bersenjata, kerja paksa, perbudakan. Namun pernahkah terbayang oleh diri kita bahwa makanan dapat menjadi alat untuk melakukan sebuah dominasi di era modern hari ini? Hal ini benar-benar terjadi di negara bagian aloha, Hawai’i dan Indonesia pun mulai merasakan jejaknya.
Gastro-Kolonialisme merupakan sebuah istilah yang pertama kali digagas oleh seorang akademisi dan aktivis di Pulau Guam, Pasifik. Craig Santos Perez dalam wawancaranya bersama Post Colonial Text pada tahun 2015 menjelaskan padanan ini muncul setelah ia merasakan dampak negatif dari makanan cepat saji seperti makanan kalengan yang umum dikonsumsi di tempatnya.
Apa yang dialami oleh Perez membawa kesadaran bagi dirinya bahwa kolonialisme tidak hanya memengaruhi tanah dan budaya tetapi juga pola makan dan kesehatan bagi masyarakat pribumi. Ia menggambarkan Gastro-Kolonialisme sebagai akibat dari dominasi ekonomi dan budaya asing sehingga menempatkan istilah ini sebagai Force feeding structural di mana masyarakat pribumi dipaksa secara halus untuk mengonsumsi makanan impor yang tidak sehat.
Baca Juga: Wamen Pertanian Buka Kongres V Forkom BEM/DEMA PTAI di UIN RF
Gastro-Kolonialisme membawa bukti bahwa kolonialisme hari ini dapat menaklukan tubuh dan budaya melalui pangan.
Dalam karyanya yang berupa artikel Facing Hawai’i’s Future yang diterbitkan pada Juli 2013 di laman The Kenyon Review, Perez menyoroti bagaimana militer Amerika Serikat (AS) memperkenalkan makanan olahan Amerika sebagai bagian logistik untuk tentara, karena mereka membutuhkan makanan yang tahan lama, mudah disimpan, dan mudah didistribusikan di wilayah terpencil atau pulau-pulau kecil.
Produk olahan Amerika seperti makanan kalengan, dan mie instan memenuhi kriteria ini karena awet tanpa pendingin, ringan, dan kaya kalori. Dalam pendistribusiannya terkadang makanan militer ini menyertakan penduduk lokal, baik secara sukarela maupun melalui program bantuan, artinya komunitas lokal sering menerima surplus atau distribusi makanan militer yang mengubah pola makan sehari-hari masyarakat pribumi.
Tidak hanya militer AS yang melakukan sebuah perubahan pola makan masyarakat pribumi di Hawai’i namun perusahaan multinasional juga berkontribusi dengan hal serupa. Perusahaan seperti Monsanto, Syngenta, dan Dupont Pioneer melakukan penguasaan terhadap lahan pertanian di Hawai’i, alih-alih menanam pangan lokal untuk konsumsi masyarakat, mereka melakukan uji coba dan produksi benih hasil rekayasa genetika (GMO) di atas tanah yang mereka kuasai, contohnya seperti Pepaya GMO (Rainbow Papaya) yang menjadi kasus simbolik Gastro-Kolonialisme di Hawai’i karena perusahaan bioteknologi tersebut menggunakan pulau itu sebagai “laboratorium tropis” untuk uji coba dengan mengabaikan konsultasi kepada masyarakat lokal.
Akibatnya masyarakat lokal terpaksa membeli makanan impor karena produksi pangan tradisional berkurang, hal ini menyebabkan sebuah ketergantungan terhadap makanan olahan yang menggantikan sistem pangan tradisional karena produk Amerika dianggap modern dan praktis dibandingkan metode pertanian lokal yang memerlukan waktu dan tenaga lebih, meskipun sering kali produk tersebut mengandung kadar garam, gula, lemak dan bahan rekayasa genetika yang dapat menurunkan kualitas gizi dan meningkatkan potensi penyakit kronis seperti diabetes, dan obesitas di seluruh Pasifik. Pada konteks Hawai’i daging kalengan, mie instan, serta minuman manis menjadi simbol modernitas yang mengikis budaya kuliner lokal.
Dari Pangan Lokal ke Sistem Konsumsi Industri
Berkaca apa yang telah terjadi pada masyarakat lokal di negara bagian aloha, yang menjadikan makanan sebagai simbol status dan modernitas dalam narasi pasca perang dunia ke-2, militer AS dan perusahaan multinasional memperkenalkan makanan kaleng, sebagai modern food, serta iklan di media menggambarkan bahwa minum soda dan makan burger adalah tanda kemajuan dan kelas menengah. Hal ini menjadi faktor penghilang pengetahuan makan lokal dan penggerusan budaya.
Baca Juga: UIN RF Jadi Tuan Rumah Kongres V FORKOM BEM/DEMA PTAI: Dorong Mahasiswa Kawal Indonesia Emas 2045
Mengutip artikel ilmiah dari Digital Press UGM (2024), Tidak hanya di Hawai’i, Indonesia pun turut merasakan hal yang sama. Seperti yang terjadi di ujung tenggara Papua, Merauke secara historis mereka memiliki sistem pangannya sendiri dengan menanam ubi, keladi, singkong, dan sagu yang menjadi bahan pangan utama.
Sekitar tahun 2010, pemerintah Indonesia meluncurkan proyek besar yang bernama Merauke integrated food and energy estate (MIFEE) dengan menggandeng perusahaan multinasional seperti Wilmar Group, Medco, dan Korindo.
Tujuan proyek ini secara formal menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan nasional namun, dalam praktiknya banyak hutan adat yang digusur, akibatnya lahan sagu dan kebun tradisional hilang, serta penduduk adat kehilangan akses terhadap tanah pangan mereka sendiri.
Dampak yang dirasakan akibat dari proyek semacam MIFEE ini adalah pergeseran sistem pangan lokal menjadi sistem konsumsi industri. Terjadi sebuah ketegantungan masyarakat lokal terhadap beras dan makanan kemasan, serta hilangnya kenakeragaman pangan lokal.
Kesehatan Masyarakat Lokal yang Terjajah
Berdasarkan artikel Rainforest Journalism Fund berjudul “Gastro-Colonialism in Merauke” dalam tulisan ini disebutkan “local people to meet their nutrional intake is worsened by the flooding,” di mana kekurangan nutrisi muncul karena perubahan pola pangan.
Masyarakat adat di kawasan Merauke yang dahulu berdaulat atas pangan mereka sendiri, dengan hadirnya proyek seperti MIFEE menurunkan akses terhadap pangan tradisional, akibatnya penduduk lokal lebih sering mengonsumsi lebih banyak makanan cepat saji, yang tinggi garam, gula, lemak, dan rendah keanekaragaman gizi. Perubahan Pola makan ini meningkatkan risiko penyakit diabetes, hipertensi, dan obesitas.
Hilangnya kenakeragaman makanan lokal dan sistem pangan tradisional menyebabkan malnutrisi, karena makanan cepat saji sering kali miskin vitamin dan serat.
Paradoks Negara Agraris
Menurut Immanuel Wallrstein dalam kerangka world systems theory, negara-negara pinggiran seperti Indonesia diposisikan sebagai penyedia bahan mentah dan pasar konsumsi, sementara negara inti (Industri Barat) menguasai nilai global.
Meski disebut negara agraris, Indonesia masih bergantung untuk memenuhi kebutuhan pangan seperti beras, gandum, dan kedelai melalui impor dari luar negeri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Food And Agriculture Organizaton (FAO) pada tahun 2023 kebergantungan terhadap impor semacam ini meningkat akibat konversi lahan pangan ke industri dan perkebunan ekspor, seperti sawit dan tambang. Hal ini menciptakan paradoks pangan nasional, Indonesia yang kaya akan sumber daya pangan namun bergantung pada pasar global.
Proyek Food Estate di merauke sejatinya bukan untuk kedaulatan pangan lokal, namun diskemakan untuk pasar nasional dan rantai industri global, terlihat dari apa yang mereka tanam pada tanah seluas 500.000 hektare berupa perkebunan tebu dan bioetanol, bagian ini merupakan porsi utama dari program yang dimulai pada 2010 silam.
Imbasnya masyarakat Papua kehilangan akses terhadap pangan lokal dan berubah menjadi konsumen pangan impor.
Apa yang terjadi pada masyarakat adat di ujung tenggara papua rasanya tidak berbeda dengan yang dirasakan oleh penduduk lokal di negara bagian aloha. Mereka menjadi objek sebuah penjajahan dengan bentuk modern, yang kita kenal sekarang dengan istilah Gastro-Kolonialisme. Masyarakat dijajah oleh makanan olahan yang murah namun berisiko terhadap kesehatan.
Setidaknya dengan dua kasus yang dituliskan di atas sudah cukup untuk menyadarkan kita bahwa Gastro-Kolonialisme hari ini telah hadir di depan mata secara nyata. Apa yang terjadi di Hawai’i dan Papua mungkin saja telah terjadi kepada kita hari ini, atau mungkin kita sendiri yang tidak sadar bahwa kita telah terjajah.
Berbicara soal kedaulatan pangan saat ini bukan hanya tentang makanan yang hadir di dalam sebuah piring di hadapan kita masing-masing, namun bagaimana sebuah pengetahuan terhadap identitas, dan budaya yang hilang akibat jahatnya sebuah dominasi ekonomi dan budaya asing. Gerakan mempertahankan kedaulatan pangan hari ini merupakan sebuah bentuk dari perlawan terhadap penjajahan.
Penulis: Shabir Al Fikri
Editor: Rhessya Maris
About Post Author
Rhessya Maris
More Stories
Fakta pahit MBG tetap jalan Meski Banyak Murid keracunan
[caption id="attachment_4679" align="aligncenter" width="1600"] Dok/espos.id[/caption] Artikel-Ukhuwahnews |Program MBG (Makanan Bergizi Gratis) yang dijalankan di sejumlah sekolah terus berlangsung meskipun telah...
Anak Empat Tahun Meninggal Akibat Infeksi Cacing, Cacing Ditemukan Hingga Otak
[caption id="attachment_4395" align="aligncenter" width="612"] Sumber: Istock/srisakorn[/caption] Artikel-Ukhuwahnews | Indonesia digemparkan oleh kasus tragis seorang anak perempuan berusia empat tahun asal...
Mandat yang Diingkari
[caption id="attachment_4360" align="aligncenter" width="1041"] Ukhuwahdesain/Rhessyamaris[/caption] Penulis: Rhessyamaris (Pemimpin Redaksi) Editorial-Ukhuwahnews | Kabar duka kembali menghiasi kanal media Indonesia. Setelah diperas...
Minuman Sehat Berkafein: Pilih Matcha atau Kopi?
[caption id="attachment_4276" align="aligncenter" width="1080"] Ukhuwahdesain/Manda Dwi Lestari[/caption] Artikel-Ukhuwahnews | Matcha menjadi salah satu minuman alternatif yang digemari generasi muda selain...
Lada Mentah Pagar Alam per 80 Ribu, Petani Harap Dukungan
[caption id="attachment_4165" align="aligncenter" width="1620"] Proses penjemuran lada hitam di kelurahan bangun jaya kota pagaralam utara. Sabtu, (16/08/2025) Ukhuwahfoto/Ranidwioktafidiya[/caption] Pagar Alam-Ukhuwahnews...
Janji Tinggal Janji : Apakah Kemiskinan Harus Kita Wariskan Lagi?
[caption id="attachment_4073" align="aligncenter" width="2000"] Sumber/Freepik[/caption] Artikel-Ukhuwahnews | Kemiskinan masih menjadi tantangan terbesar di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)...

Average Rating