
Penulis: Astridda Rochmah
Suasana rumah Baba Ong Boen Tjiet tampak tak seorang pun di sana saat aku datang. Rumah yang menghadap langsung ke Sungai Musi membuat rumah ini memiliki daya tarik tersendiri.
Suara pembakaran mesin dari Manuver kapal Batubara yang melintas menambah keeksotisan rumah ini.
Halamannya begitu terbentang lapang, terdapat jemuran daun nipah yang hampir memenuhi setengah dari halaman rumah itu.
Daun nipah menjadi salah satu mata pencarian masyarakat sekitar rumah Baba Ong Boen Tjit, sebelum kemudian disulap menjadi kerajinan tangan.
Sekilas tampak depan rumah Baba Ong Boen Tjiet bergaya khas Rumah Limas Palembang, atapnya memiliki bentuk lancip melengkung di tiap ujungnya, rumah dengan gaya panggung dengan ornamen kayu yang dirawat dengan baik, serta tanaman adas yang berbaris sepanjang pagar di depan rumah.
Baca Juga: Harapan dalam Sebidang Sawah di Tengah Ambisi Industri
Meski bangunan depan rumah ini seperti Rumah Limas, tanpa disangka bagian dalam rumah ini begaya khas Tionghoa. Di mana terdapat ukiran ornamen Tionghoa serta guci yang didatangkan langsung dari negeri Tirai Bambu.
Dulu, kenangnya, rumah ini adalah rumah pertama. Saat itu terdapat 3 bangunan ikon di kota Palembang, Masjid Agung, Kantor Wali kota dan Rumah Baba Ong Boen Tjit. Rumah ini sudah berumur 300 tahun pada abad ke-17, pemilik rumah itu merupakan saudagar rempah yang berasal dari Negara Cina.
“Zaman itu belum ada jalan raya, akses yang ada saat itu hanya sungai,” kenangnya.
Di sela-sela obrolan, aku melihat foto yang tampak menguning pada pinggiran kertasnya dalam sebuah lemari kayu. Foto itu terlihat tua dan lama, pahatan wajah figur laki-laki dalam foto tersebut tercetak dengan jelas. Dalam foto tersebut, ia terlihat duduk dengan postur tubuh yang tegap.

Di beberapa titik terlihat jelas jika bangunan rumah ini sudah sangat tua. Bahkan ada beberapa ornamen yang sudah diganti dengan yang baru. Namun demikian, tidak mengubah bentuk asli rumah ini.
Saking tuanya bangunan rumah ini, bagian lantai yang berasal dari kayu harus melakukan pergantian kayu selama 10 tahun sekali dengan harga yang lumayan menguras kantong. Seperti serambi di depan rumah yang sudah rutin diganti dan direnovasi.
Di balik keunikannya, rumah ini juga memiliki aturan tersendiri. Setiap pengunjung yang melintas di bagian tengah rumah ini, harus sedikit menundukkan kepala sebagai bentuk menghormati sesama.
Digelar sebuah karpet sebagai alas dan sebagai tempat mereka beribadah, tak lupa juga lilin beserta dupa yang menjadi salah satu ritual wajib sembahyang umat beragama Buddha itu pun hadir di sana.
Walaupun terdapat tempat sembahyang orang Buddha, Anik beserta keluarganya semua beragama Islam, di mana mereka merawat rumah peninggalan ini sebagai bentuk menjaga Aset daerah Kota Palembang.
“Dulu suami saya orang Cina, tapi setelah menikah dengan saya, ia Mualaf (Masuk Islam),” jelas Anik selaku istri dari generasi ke-6 serta sebagai pengurus rumah Baba Ong Boen Tjit.
Sebelum dibukanya rumah Baba Ong Boen Tjit ini, sempat dibuka sebuah pasar Baba Ong Boen Tjit yang menjajakan makanan khas Palembang pada tahun 2017. Namun hanya bertahan hingga 9 bulan saja, karena Anik beserta keluarganya mengaku kewalahan dan merasa tidak adanya hari libur pada masa itu.
“Setelah kami bermusyawarah akhirnya kami mengalihkan pasar itu menjadi rumah Baba Ong Boen Tjit,” tuturnya.
Meskipun rumah Baba Ong Boen Tjit ini sudah diakui oleh Dinas setempat, sebagai salah satu Destinasi Wisata yang harus dilestarikan, hingga detik ini pengelolaan rumah ini masih mandiri.
“Saya sudah sering melapor kepada Dinas terkait terutama masalah akses transportasi namun belum ada tanggapan,” keluhnya.
Rumah Baba Ong Boen Tjit merupakan salah satu rumah dengan wujud toleransi yang tinggi, di mana tidak adanya kesenjangan sosial yang dapat menimbulkan sebuah konflik.
Rumah bergaya campuran Palembang dan Tinghoa, menjadi ciri khas tersendiri rumah Baba Ong Boen Tjit yang harus tetap dijaga dan terus dilestarikan.
Editor: Annisaa Syafriani
About Post Author
Annisaa Syafriani
More Stories
Siti Aminah, Penjaga Tradisi Nipah di Tepi Sungai Musi
[caption id="attachment_4623" align="aligncenter" width="1600"] Pengrajin mengikat daun nipah kering yang akan dijadikan rokok pucuk nipah di Kampung Anyaman 3/4 Ulu,...
Aksi Demonstrasi Bukan Hanya Kerusuhan, Wujud Suarakan Kemanusiaan
[caption id="attachment_4466" align="aligncenter" width="1500"] Pengunjuk rasa masuk ke halaman gedung DPRD Sumsel, Senin (01/09/2025). Ukhuwahfoto/Al Dona[/caption] Penulis: Selo Obrian (Pengurus...
Menyusuri Warisan Tionghoa di Tepi Musi
[caption id="attachment_4373" align="aligncenter" width="1280"] Papan bertuliskan sejarah singkat berdirinya Kampung Kapitan yang berada di Kelurahan 7 Ulu Kota Palembang, Senin...
Pempek di Tengah Riuh Negeri: Kisah dari Ulu Palembang
[caption id="attachment_4377" align="aligncenter" width="1280"] Pempek goreng yang siap disajikan kepada pengunjung kedai, di Kecamatan Seberang Ulu 1 Palembang, Senin (25/08/2025)....
Bukan Sekadar Seduhan Kopi: Realitas Kedai Ruang Diskusi
[caption id="attachment_4318" align="aligncenter" width="2560"] Potret Mahesa Putra sedang melakukan proses pembuatan kopi di meja bar kedai kopi Mibar, di Jalan...
Manisnya Cokelat dari Tanah Karo, Seulas Mimpi Pendidikan Tinggi untuk Anak
[caption id="attachment_4203" align="aligncenter" width="1620"] Dok/Kelompok Bhinneka Tunggal Ika[/caption] Penulis: Kelompok Bhinneka Tunggal Ika Medan-Ukhuwahnews | Pada pagi yang menyuguhkan sejuknya...
Average Rating