Read Time:3 Minute, 46 Second
Seorang petani, Hairul sedang mengaduk gabah dalam wadah penyemaian untuk memisahkan biji padi dari jerami, di desa Harapan, Pemulutan, Ogan Ilir, pada Kamis (01/05/2025). Ukhuwahfoto/Ahmad Hafiizh Kudrawi

Penulis: Ahmad Hafiizh Kudrawi (Pengurus LPM Ukhuwah)

Terik matahari terasa menyengat di pelataran lahan sawah tepatnya di desa Harapan, kecamatan Pemulutan, Organ Ilir. Ternyata kawasan ini berdekatan dengan pabrik milik PT Buyung Putra Pangan (BPP), lalu tak jauh dari situ terdapat Jembatan Ogan yakni lintasan ruas jalan tol Kayuagung-Kramasan yang membentang sepanjang 1,7 kilometer.

Hampir seluruh lahan sawah di Desa Harapan sampai sekitar kawasan Pemulutan dikuasai oleh PT BPP, namun masih ada sedikit lahan sawah yang dimiliki oleh warga asli setempat.

Tidak dipungkiri, dengan terbentangnya lahan sawah di Desa Harapan, menjadikan bertani sebagai matapencaharian kebanyakan warga desa setempat.

Petani merupakan salah satu buruh yang memegang peranan penting, tanpa petani tidak akan ada beras yang menjadi sumber makanan pokok bagi sebagian besar rakyat pribumi di Indonesia.

Baca juga: Aroma Kejujuran dalam Setiap Cangkir Kopi Sendok Mas

Perjuangan para petani terus bergema, salah satunya yakni petani dari Desa Harapan bernama Hairul yang masih mempertahankan lahan sawah berukuran 1,5 hektar miliknya yang berada di dekat Jembatan Ogan, meskipun banyak lahan sawah di sekitarnya yang sudah terjual.

“Lahan sawah ini diwariskan turun-temurun bahkan dari nenek moyang saya,” ujar Hairul saat diwawancarai reporter Ukhuwah di bawah Jembatan Ogan, pada Kamis (01/05/2025).

Pria bertopi hijau tua itu menuturkan dengan runtut proses penanaman bibit padi sampai tumbuh menjadi beras yang siap diolah.

Seorang petani mengaduk gabah dalam wadah penyemaian di Desa Harapan, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, pada Kamis (1/5/2025). Ukhuwahfoto/Muhammad Izzudin Alhapiz

Dalam waktu minimal dua minggu sebelum penanaman, tanah harus bersih dari rumput liar agar nutrisi tanah dan air tidak terbagi dengan rumput-rumput liar.

Sebelum melakukan penanaman, padi terlebih dahulu melalui proses persemaian untuk memilih bibit yang unggul. Belum lagi dalam penanaman bibit, lahan sawah mesti terus dijaga dari hama dan penyakit supaya saat sudah masuk tahap pemanenan, padi yang dihasilkan menguning dan merunduk sehingga merontokkan beras dari dalam bulir-bulir padi.

Setelah tahap pemanenan, padi langsung memasuki tahap penyaringan, penjemuran, dan penggilingan. Dalam proses penggilingan, biasanya ditangani oleh orang lain dan diupah sebesar Rp1.000/Kg.

Di beberapa momen, orang yang menggiling padi tidak diupah, karena bekas kulit padi hasil gilingan diambil menggantikan upah yang harusnya didapat. Bekas kulit padi tersebut, nantinya bisa dijual kembali kepada peternak untuk pakan hewan ternak.

Periode pemanenan padi hanya berlangsung tiga bulan sekali, dari total panen selama satu tahun paling banyak memperoleh hasil panen sebesar 2 ton.

“Dari total panen yang didapatkan sebesar 2 ton, harga jual padi perkilo hanya sebesar 50-65 ribu,” tuturnya sambil mengangkat karung berisi bibit padi ke wadah persemaian.

Apalagi kini hampir sebagian besar lahan sawah di kawasan Pemulutan dimiliki oleh PT BPP, Hairul pun mengungkapkan alasan dibalik banyaknya petani yang menjual lahan sawah miliknya.

“Lagi-lagi alasannya itu karena faktor ekonomi mendesak,” ungkap Hairul.

Meskipun begitu, Hairul tetap bersikeras tidak ingin menjual lahan sawah miliknya ke berbagai pihak yang mencoba hendak membelinya, walaupun dijanjikan dengan patokan harga tinggi.

Bagi Hairul, lebih baik punya lahan sawah sendiri, setidaknya apapun penderitaan dan cobaan yang menerka, ia masih bisa makan karena menghasilkan beras sendiri.

“Sudahlah kalo mau jual lahan sawah, nanti niat mau beli lahan baru lagi harganya udah kemahalan. Mau cari pekerjaan lain sulit sekali di masa sekarang,” kata Hairul diakhiri dengan menghela nafas.

“Orang jaman dulu itu hidup dari menjadi petani di sawah,” sambungnya dengan lantang.

Alasan lain di balik Hairul tidak menjual lahan sawahnya, ia takut nanti kebutuhan beras bergantung kepada pihak luar, tidak ada jaminan harga jual beras yang dipatok pihak luar akan terjangkau.

“Jatuhnya nanti kalo lahan sudah dibeli oleh PT BPP, kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena lahan sawahnya sudah bukan hak milik kita lagi,” ujarnya.

Hairul juga merasa khawatir pada nasib keluarganya di masa depan, apabila lahan sawah miliknya dijual.

“Takut nanti anak atau cucu kesusahan bahkan tidak ada penerus lagi. Setidaknya jika duit tidak ada, kalo ada beras masih bisa makan,” katanya sambil mengaduk bibit padi di wadah persemaian.

Kendati demikian, Hairul mengaku selama bertani di lahan sawah miliknya, ia mampu menghidupi keluarganya bahkan sampai berhasil membiayai pendidikan kelima anak sampai tamat sekolah.

“Alhamdulilah dari hasil selama bertani, saya bisa membiayai sekolah anak sampai SMK, tiga anak sudah menikah, dua sudah tamat SMK,” ujar Hairul.

Editor: Annisaa Syafriani

About Post Author

Annisaa Syafriani

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Potret Kehidupan Petani di Desa Harapan
Next post Puisi : Janji di Ujung Kapur