
Penulis: Vitria Isabella
Feature – Ukhuwahnews | “Lebihkan sedikit timbangannya, jangan kurang, kalau kurang sama saja mengambil hak orang lain, Ki.” Begitulah ucap Syukri saat mengenang prinsip yang ditanamkan oleh Jafar, ayahnya.
Sabtu pagi, udara Kota Palembang membawa aroma kayu Pelawan yang terbakar, bercampur dengan wangi khas kopi yang baru digiling. Di sebuah sudut kawasan Kampung Al Munawar, sebuah bangunan sederhana, berdiri dengan aktivitas yang tak pernah sepi.
Di dalam ruangan, bunyi deru mesin penggiling berpadu dengan suara butiran kopi yang saling bertumbukan.
Di samping mesin penggiling, Abubakar Syukri, pria bertubuh semampai dengan tangan terbiasa bekerja keras, tak melepaskan pandangannya dari aliran bubuk kopi yang jatuh ke wadah di bawahnya.
“Setiap hari inilah yang saya kerjakan,” ujar Syukri sembari menyapu bubuk kopi yang tercecer pada Sabtu (15/02/2025).
Baca juga: Menelusuri Keindahan Malam di Sungai Musi
Bagi Syukri, kopi bukan sekadar pekerjaan, ini adalah warisan. Usaha yang ia jalani sekarang berakar dari perjalanan panjang yang dimulai oleh Jafar, ayahnya.
Tahun 1982, setelah menikahi Muzena, Jafar memulai perjalanan panjangnya di dunia kopi.
Sebelum mengenal kopi, Jafar pernah berjualan telur, sarden, apa saja yang bisa memberi penghidupan. Lalu, kopi bubuklah yang akhirnya menjadi pilihan. Dengan tangan sendiri, ia menakar, menggiling, dan membungkus kopi yang kemudian ia antar dari rumah ke rumah.
Nama ‘Sendok Mas’ muncul dari sebuah cerita yang sering diceritakan Jafar kepada anak-anaknya. Suatu ketika, saat Jafar baru memulai usahanya, ia kebingungan memilih nama yang tepat untuk kopi bubuknya.
Dalam ingatannya, ia hanya ingin sesuatu yang sederhana, tetapi tetap mudah diingat. “Sendok saja cukup,” begitu yang ia pikirkan.
Namun, seorang teman yang sering datang ke rumah produksi kecilnya menimpali, “Kalau cuma Sendok, biasa saja, tambahkan ‘Mas’, supaya lebih menarik dan bernilai,”
Jafar pun menyetujuinya, dan sejak saat itu, nama ‘Sendok Mas’ melekat pada produk kopinya hingga sekarang. Sejak awal, Kopi Sendok Mas hanya menggunakan biji kopi Semendo.
“Bukan hanya karena terbiasa, tapi memang rasanya berbeda,” kata Syukri.
Seiring waktu, usaha ini terus berkembang. Tahun 1991, permintaan mulai meningkat. Jafar yang sebelumnya hanya menggiling kopi dengan alat manual akhirnya membeli mesin giling yang lebih besar.
Ini membuat produksinya lebih cepat dan lebih banyak. Saat itu, Kopi Sendok Mas mulai dikenal lebih luas di Palembang.
“Dulu, penggilingannya masih pakai tenaga manusia, sekarang? Mesin bisa giling 100 kali lebih cepat.” Syukri bergurau, mengenang masa-masa perjuangan sang Ayah.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Pada 1994, Jafar berpulang, meninggalkan usaha ini di tangan Syukri yang kala itu masih berusia 14 tahun.
Menjalankan usaha di usia belia bukan perkara mudah. Syukri yang masih remaja harus belajar memahami proses pengolahan kopi, mengurus pelanggan, hingga memastikan produksi berjalan lancar.
Di masa-masa sulit itu, ibunya, Muzena, menjadi sosok yang selalu menguatkannya. Dengan kesabaran, ia menemani Syukri menghadapi tantangan demi tantangan.
“Sempat terpikir untuk berhenti, apalagi saat pelanggan mulai berkurang karena saya dianggap belum berpengalaman. Tapi saya ingat Abah, ingat bagaimana beliau memulai semuanya dari nol,” kenang Syukri.
Di tahun 2000-an, Syukri mulai melakukan perubahan besar. Ia tak hanya mempertahankan cita rasa khas kopi Semendo, tetapi juga mulai memanfaatkan kemajuan teknologi untuk pemasaran.
Dari mulut ke mulut, Kopi Sendok Mas mulai masuk ke warung-warung kopi, hingga akhirnya mendapatkan pelanggan tetap.
Puncaknya terjadi pada 2010. Dengan perkembangan internet dan media sosial, Syukri mulai memperluas jangkauan pasarnya. Ia menggandeng distributor dan membuka jaringan penjualan ke berbagai kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Bekasi, dan Surabaya.
“Dulu, kopi hanya bisa kita temui di warung kopi dekat rumah. Sekarang? Bahkan orang Jakarta sudah tahu tentang kopi kita,” katanya sambil tersenyum bangga.
Kini, di usianya yang menginjak 44 tahun, Syukri telah membawa Kopi Sendok Mas ke titik yang mungkin tak pernah ia bayangkan saat masih remaja. Produksinya meningkat pesat, dengan pelanggan yang semakin loyal.
“Kadang saya tidak percaya, dari sekadar warung kopi sederhana, bisa berkembang sejauh ini. Semua berkat kerja keras, dan tentunya, kopi Sendok Mas yang selalu setia menemani setiap langkah,” ujar Syukri.
Editor: Annisaa Syafriani
More Stories
Dari Balik Layar Gebyar PIAUD 2025 : Kisah Guru TK yang Mengantar Mimpi Kecil Murid-Muridnya
[caption id="attachment_4986" align="aligncenter" width="1280"] Potret Aulia Hanum menjadi peserta lomba mewarnai Gebyar PIAUD 2025 di gedung Academic Center UIN Raden...
Dari Jaring ke Cangkul: Perjalanan Hidup Nelayan yang Beralih Menjadi Petani
[caption id="attachment_4965" align="aligncenter" width="2560"] Dretan rumah beratap merah berjajar di tepi aliran sungai, Dikelilingi sawah hijau di Kabupaten Penukal Abab...
Kisah Dua Perempuan Perjuangkan, Warisan Tari Setambul Due
[caption id="attachment_4954" align="aligncenter" width="2560"] Sumber/Freepik[/caption] Penulis: Dea Aprilia (Pengurus LPM Ukhuwah) PALI-Ukhuwahnews | Tepat di tengah hari, aku mendatangi kediaman...
Sedupi Menangis di Balik Tarian: Siapa yang Akan Menari Setelah Kami?
[caption id="attachment_4883" align="aligncenter" width="1600"] Tiga Maestro penari Tari Si Burung Putih dan kain songket khas Palembang. Minggu, (16/112025) Ukhuwahfoto/Jimas Muamar[/caption]...
Hidup Petani di Sekitar PLTU Kian Terpuruk
[caption id="attachment_4846" align="aligncenter" width="1600"] Lahan petani yang berdekatan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Keban Agung. Minggu (19/10/2025). Ukhuwahfoto/ Marshanda[/caption] Lahat...
Siti Aminah, Penjaga Tradisi Nipah di Tepi Sungai Musi
[caption id="attachment_4623" align="aligncenter" width="1600"] Pengrajin mengikat daun nipah kering yang akan dijadikan rokok pucuk nipah di Kampung Anyaman 3/4 Ulu,...

Average Rating