Read Time:2 Minute, 1 Second
Pengrajin mengikat daun nipah kering yang akan dijadikan rokok pucuk nipah di Kampung Anyaman 3/4 Ulu, Sabtu (20/09/2025).
Ukhuwahfoto/Ranidwioktafidiya

Penulis: Marshanda (Pemimpin Umum LPM Ukhuwah)

Palembang-Ukhuwahnews | Di sebuah gang sempit di kawasan 3 Ulu, Palembang, aroma khas daun kering bercampur asap belerang kerap tercium. Itulah tanda rumah Siti Aminah (63), salah satu pengrajin daun nipah yang masih setia mempertahankan tradisi membuat rokok pucuk di kampung yang dikenal warga sebagai ‘Kampung Nipah’.

Bagi sebagian orang, daun nipah hanya dianggap bahan pelengkap untuk ketupat atau atap rumah. Namun, bagi Aminah, nipah adalah bagian dari hidupnya. “Saya sudah bersama nipah sejak kecil. Dari orang tua, sampai sekarang, tetap ini yang jadi jalan hidup,” ujarnya sambil merapikan daun nipah di kediamannya. Sabtu, (20/9/2025).

Baca juga: Kampung Nipah Palembang: Sentra Pengrajin kulit Rokok Daun Nipah dengan Tradisi yang Terjaga

Warisan yang Bertahan Melintasi Zaman
Siti Aminah bukan sekadar bekerja untuk bertahan hidup. Ia merasa menjadi bagian dari rantai panjang penjaga tradisi di tepi Sungai Musi. Sejak remaja, ia terbiasa membantu ibunya memilih, menjemur, dan melinting daun nipah menjadi rokok pucuk. Kini, setelah puluhan tahun, ia masih tekun mengulang proses itu, meski sebagian tetangganya sudah memilih beralih ke pekerjaan lain.

“Kalau ditanya kenapa saya masih bertahan, jawabannya sederhana. Karena ini bukan sekadar pekerjaan, tapi warisan. Sayang kalau hilang,” tutur perempuan berumur 63 tahun itu.

Perempuan dan Ekonomi Keluarga
Di balik kesederhanaannya, Siti Aminah menyimpan kisah tentang peran perempuan dalam menjaga tradisi kerajinan turun-temurun keluarganya. Ia masih setia membuat rokok pucuk, meski kini hanya segelintir orang yang melakukannya.

“Di sini tinggal beberapa orang yang masih membuat rokok pucuk. Dari saya tidak ada lagi penerus, anak saya satu tidak bisa membuat ini,” tuturnya lirih.

Menyulam Harapan dari Daun Nipah
Kini, usia Aminah tak lagi muda. Namun tangannya masih lincah melipat nipah, memotong sesuai ukuran, lalu menyusunnya rapi. Ia sadar, pasar rokok pucuk mungkin semakin sempit dibanding masa lalu. Tapi ia percaya, kerja kerasnya tidak sia-sia.

Baginya, nipah bukan hanya soal ekonomi, tapi juga tentang identitas kampung. “Kalau semua orang berhenti, siapa lagi yang akan mengenal kampung ini sebagai kampung nipah,” tambahnya.

Meski sederhana, suara Siti Aminah merekam betapa perempuan di Kampung Nipah memegang peran besar menjaga tradisi yang hampir terlupakan. Bagi mereka, daun nipah bukan sekadar bahan baku, tapi juga simbol ketekunan, kebersamaan, dan warisan hidup yang layak dikenang.

Editor: Vivin Noor Azizah

About Post Author

Vivin Noor Azizah

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Kampung Nipah Palembang: Sentra Pengrajin kulit Rokok Daun Nipah dengan Tradisi yang Terjaga
Next post Pasar Cinde Jadi Surga Batu Cincin dengan Harga Beragam